Ketika disebut nama Maroko, maka yang paling terlintas di benak orang Indonesia adalah Ibnu Batutah, Sang petualang legendaris dari Negeri Matahari Terbenam ini. Ia dianggap sebagai pelopor penjelajah abad 13 M yang belum tertandingi, sekalipun ada Marcopolo yang juga melakukan penjelajahan dunia.
Namun Marcopolo masih tidak sebanding dengan Ibnu Batutah terutama dalam
kuantitas perjalanan. Karenanya, ia dijuluki dengan sebutan “Pengembara muslim
Arab”.
Perjalanan panjang dan pengembaraannya mengelilingi dunia itu mampu
melampaui sejumlah penjelajah Eropa yang diagung-agungkan Barat seperti
Christopher Columbus, Vasco de Gama, dan Magellan yang mulai setelah Ibnu
Batutah. Sejarawan Barat, George Sarton, mencatat jarak perjalanan yang
ditempuh Ibnu Batutah melebihi capaian Marcopolo. Tak heran, bila Sarton
geleng-geleng kepala dan mengagumi ketangguhan seorang Ibnu Batutah yang mampu
mengarungi lautan dan menjelajahi daratan sepanjang 120.000 kilometer itu.
Sebuah pencapaian yang tak ada duanya di masa itu.
Lalu siapa nama lengkap Ibnu Batutah itu? Ia adalah Muhammad Abu Abdullah bin
Muhammad Al Lawati Al Tanjawi yang kemudian dikenal dengan Ibnu Batutoh. Lahir
di Tanger (kota di sebelah utara Maroko) 24 Februari 1304 M/ 703 H dan wafat di
kota kelahirannya pada tahun 1377 M/ 779 H. Versi lain mengatakan, ia wafat di
kota Fez atau Casablanca. Namun pendapat yang rajih (benar) ia dimakamkan di
tanah kelahirannya, sebagaimana makamnya terdapat di kota wisata
Tanger-Maroko.
Ibnu Batutah berasal dari keturunan bangsa Barbar. Besar dalam keluarga yang
taat memelihara tradisi Islam. Saat itu, Maroko sedang dikuasai Dinasti
Mariniah. Ia dikenal sangat giat mempelajari fiqh dari para ahli yang sebagian
besarnya menduduki jabatan Qadhi (hakim). Beliau juga mempelajari sastra dan
syair Arab.
Pada usia sekitar 21 tahun 4 bulan, ia menunaikan rukun iman kelima.
Perjalananya menuju ke Baitullah telah membawanya berpetualang dan menjelajahi
dunia. Ia mengarungi samudera dan menjelajah daratan demi sebuah tujuan mulia.
Sampai kemudian Ia melanjutkan perjalanannya hingga melintasi sekitar 44 negara
selama 30 tahun.
Rihlah Ibnu Batutoh, inilah salah satu buku legendaris yang
mengisahkan perjalanan seorang petualang agung itu pada 1325 hingga 1354 M.
Sejatinya, Rihlah bukanlah judul buku, tetapi hanya menggambarkan sebuah
genre (gaya sastra). Judul asli dari buku yang ditulis Ibnu Batutah itu adalah Tuhfat
al-Nuzzhar fi Ghara’ib al-Amshar wa ’Aja’ib al-Asfar (Persembahan Seorang
Pengamat tentang Kota-kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumkan) ditulis oleh
Ibnu Juzay, juru tulis Sultan Maroko, Abu ‘Inan. Karya ini telah menjadi
perhatian berbagai kalangan di Eropa sejak diterjemahkan ke berbagai bahasa
seperti Perancis, Inggris dan Jerman.
Buku itu disusun menjadi sebuah perjalanan dunia yang mengagumkan dengan
mengaitkan berbagai peristiwa, waktu pengembaraan serta catatan-catatan penting
yang berisi berita dan peristiwa yang dialami Ibnu Batutah selama
pengembaraanya. Dalam karyanya tersebut, Ibnu Batutah tidak mengumpulkan
rujukan atau bahan-bahan dalam menunjang tulisannya hanya mengisahkan
pengalaman atau sejarah empiris negara atau kota-kota yang pernah disinggahinya
terutama yang menyangkut kultur setempat. Pencapaian Ibnu Batutah yang luar
biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah
benua Afrika, termasuk Maroko.
Kisah Petualangan Ibnu Batutoh
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Tuntutlah ilmu walaupun hingga ke negeri
Cina”. Islam memerintahkan umatnya untuk mencari ilmu pengetahuan, hingga
ke tempat yang jauh sekalipun. Terinspirasi hadits itu, Ibnu Batutah pun
melakukan perjalanan untuk mencari pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan
membentuk konsep Al-Rihlah fi talab al-’ilmi (Perjalanan untuk
Mendapatkan Ilmu Pengetahuan).
Ibnu Batutah menghabiskan umurnya hingga 30 tahun untuk berpetualang dari satu
negeri ke negeri lainnya. Hampir seluruh dunia telah dijelajahinya, mulai dari
Afrika Utara ke Timur Tengah, dari Persia ke India terus ke Asia Tenggara,
termasuk Indonesia dan India. Kemudian dilanjutkan ke arah Timur Laut menuju
daratan China dan ke arah Barat hingga sampai ke Spanyol.
Pengembaraannya itu ia lakukan antara musim haji yang satu ke musim haji
berikutnya. Ia menjadikan Makkah Al Mukaramah sebagai awal berlayar dan sebagai
tempat kembali berlabuh. Sungguh suatu pengembaraan yang penuh kejadian penting
dalam sejarah, sarat dengan makna dan hikmah. Pengembaraan perdananya dimulai
ketika menunaikan ibadah haji yang pertama, tepat pada tanggal 14 Juni 1325. Ia
bersama jamaah Tanger lainnya menempuh keringnya hawa laut Mediterania di
tengah teriknya daratan berpasir Afrika Utara. Semuanya dilakukan hanya dengan
berjalan kaki.
Dalam perjumpaannya dengan banyak orang, Ibnu Batutah senantiasa berusaha
meningkatkan kualitas silaturahim dengan mendekati orang-orang yang bisa diajak
ber-mudzakarah serta berbagi ilmu dan pengalaman. Ia sangat terinspirasi dengan
hadits Nabi Saw.,“Perumpamaan teman yang saleh dan teman yang jahat adalah
seperti orang yang membawa minyak misik (harum) dan orang yang meniup bara api
pandai besi. Orang yang membawa minyak misik mungkin akan memberikannya
kepadamu, atau engkau akan membelinya atau engkau merasakan bau harum
daripadanya. Adapun peniup bara api pandai besi, mungkin akan membakar pakaianmu,
atau engkau akan merasakan bau yang busuk daripadanya”. (HR. Bukhari dan
Muslim).
Tempat-tempat yang disinggahi diceriterakannya secara lengkap dengan bahasa
yang indah, sehingga siapa yang membaca tulisan Ibnu Batutah atau
mendengarkannya berhasrat untuk mengunjunginya. Kemauannya yang kuat untuk
mengunjungi wilayah-wilayah Islam saat itu membawanya mengembara
Tiba di Samudera Pasai (Aceh)
Petualangan dan perjalanan panjang yang ditempuh Ibnu Batutah sempat membuatnya
terdampar di Samudera Pasai (kini Aceh). Tepatnya di sebuah Kerajaan Islam
pertama di Nusantara yang terletak di utara pantai Aceh antara abad ke-13
hingga 15 M. dengan Raja pertamanya Sultan Malikussalih (W 1297), yang
sekaligus sebagai sultan (pemimpin) pertama negeri itu. Ia menginjakkan kakinya
di Aceh pada tahun 1345. Sang pengembara itu singgah di bumi Serambi Makkah
selama 15 hari.
Catatan Ibnu Batutah dalam perjalanan laut menuju Cina menyebutkan, Ia pernah
mampir di wilayah Samudera Pasai. Dalam catatan perjalanannya itu, Ibnu Batutah
melukiskan Samudera Pasai dengan begitu indah. ”Negeri yang hijau dengan kota
pelabuhannya yang besar dan indah,” tutur sang pengembara berdecak kagum.
Kedatangan penjelajah kondang asal Maroko itu mendapat sambutan hangat dari
para ulama dan pejabat Samudera Pasai.
Kedatangan Ibnu Batutah disambut Amir (panglima) Daulasah, Qadi Syarif Amir
Sayyir Al-Syirazi, Tajuddin Al-Asbahani dan beberapa ahli fiqh atas perintah
Sultan Mahmud Malik Zahir (1326-1345). Menurut pengamatan Ibnu Batutah, Sultan
Mahmud merupakan penganut Mazhab Syafi’i yang giat menyelenggarakan pengajian
dan mudzakarah tentang Islam.
Penjelajah termasyhur asal Maghrib (sebutan Maroko dalam Bahasa Arab) itu
sangat mengagumi Sultan Mahmud Malik Al-Zahir penguasa Samudera Pasai saat itu.
”Sultan Mahmud Malik Al-Zahir adalah seorang pemimpin yang sangat mengedepankan
hukum Islam. Pribadinya sangat rendah hati. Ia berangkat ke masjid untuk shalat
Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, sultan dan rombongan biasa
berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya,” kisah Ibnu Batutah.
Ia juga melihat Samudera Pasai saat itu menjelma sebagai pusat studi Islam di
Asia Tenggara. Menurut Ibnu Batutah, penguasa Samudera Pasai itu memiliki
ghirah (semangat) belajar yang tinggi untuk menuntut ilmu-ilmu Islam kepada
ulama. Dia juga mencatat, pusat studi Islam yang dibangun di lingkungan
kerajaan menjadi tempat diskusi antara ulama dan elit kerajaan. Selama
berpetualang mengelilingi dunia dan menjejakkan kakinya di 44 negara, dalam
kitabnya yang berjudul Tuhfat al-Nazhar itu, Ibnu Batutah menuturkan
telah bertemu dengan tujuh raja yang memiliki kelebihan yang luar biasa.
Ketujuh raja yang dikagumi Ibnu Batutah itu antara lain; raja Iraq yang
dinilainya berbudi bahasa, raja Hindustani yang disebutnya sangat ramah, raja
Yaman yang dianggapnya berakhlak mulia, raja Turki dikaguminya karena gagah
perkasa, raja Romawi yang sangat pemaaf, raja Melayu Malik Al-Zahir yang
dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, serta raja Turkistan.
Ibnu Batutah sempat mengunjungi pedalaman Sumatra yang kala itu masih dihuni
masyarakat non-Muslim. Di situ juga Ia menyaksikan beberapa perilaku masyarakat
yang mengerikan, seperti bunuh diri massal yang dilakukan hamba ketika
pemimpinnya mati.
Setelah berkelana dan mengembara di Samudera Pasai selama dua pekan, Ibnu
Batutah akhirnya melanjutkan perjalannnya menuju Negeri Tirai Bambu Cina.
Catatan perjalanan Ibnu Batutah itu menggambarkan pada abad pertengahan,
peradaban telah tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara.
Berkat petualangan singkat Ibnu Batutah ini, kini Bangsa Indonesia sangat
dikenal di mata masyarakat Maroko, sebagai bangsa yang ramah, santun, toleran
dan cinta terhadap agama Islam yang moderat. Hal itu juga diakui oleh para
ulama Maroko, “Masyarakat muslim Indonesia sangat terpuji akhlaknya, mereka
memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap agama” pengakuan Dr Idris Hanafi,
Dosen pakar Hadits beberapa waktu lalu saat menyampaikan kuliah studi
Islam di Univ. Imam Nafie’, Tanger-Maroko.
Begitu juga tabiat masyarakat Maroko, yang terkenal dengan sikapnya yang sangat
ramah dalam menghormati tamu, mereka menganggap tamu itu benar-benar seperti
raja. Hal ini tentunya merupakan ciri khas orang Maroko dan sebagai aplikasi
dari sebuah Hadits Rasul Saw., “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, maka hendaklah memuliakan tamunya, yaitu jaizahnya.” Para
sahabat bertanya: “Apakah jaizahnya tamu itu, ya Rasulullah?” Beliau S.a.w.
bersabda: “Yaitu pada siang hari dan malamnya. Menjamu tamu yang disunnahkan
secara muakkad atau sungguh-sungguh ialah selama tiga hari. Apabila lebih dari
waktu sekian lamanya itu, maka hal itu adalah sebagai sedekah padanya.”
(Muttafaqun ‘Alaih).
Diabadikan di Dunia
Nama besar dan kehebatan Ibnu Batutah dalam menjelajahi dunia di abad
pertengahan itu, hingga kini tetap dikenang. Bukan hanya umat Islam saja yang
mengakui kehebatannya, Barat pun mengagumi sosok Ibnu Battuta. Tak heran,
karya-karyanya disimpan Barat.
Sebagai bentuk penghormatan atas dedikasinya, International Astronomy Union
(IAU) Perancis mengabadikan Ibnu Batutah menjadi nama salah satu kawah bulan.
Kawah Ibnu Batutah itu terletak di Barat daya kawah Lindenbergh dan Timur laut
kawah bulan terkenal Goclenius. Di sekitar kawah Ibnu Batutah tersebar beberapa
formasi kawah hantu. Kawah Ibnu Batutah berbentuk bundar dan simetris. Dasar
bagian dalam kawah Ibnu Battuta terbilang luas. Diameter kawah itu mencapai 11
kilometer. Dasar kawah bagian dalamnya terbilang gelap, segelap luarnya. Kawah
Ibnu Batutah awalnya bernama Goclenius A. Namun, IAU kemudian memberinya nama
Ibnu Batutah.
Selain dijadikan nama kawah di bulan, Ibnu Batutah juga diabadikan dan dikenang
masyarakat Dubai lewat sebuah mall atau pusat perbelanjaan bernama Ibnu Batutah
Mall. Di sepanjang koridor mall itu dipajangkan hasil penelitian dan penemuan
Ibnu Batutah.
Sementara di kampung halamannya sendiri, Tanger-Maroko Ibnu Batutah sangat
terkenal. Di dekat Stadion Tanger terdapat bentuk Globe kecil yang menandai
kediaman Ibnu Batutah yang kecil. Terdapat juga di Hotel Ibn Battouta di Jalan
(Rue) Magellan, dibagian bawah perbukitan ada burger Ibn Battouta dan Cafè Ibn
Battouta. Ferry yang menghubungkan Spanyol dengan Maroko menyeberangi Selat
Gibraltar juga bernama M.V. Ibn Battouta. Begitu juga bandara kota Tanger
bernama Ibn Battouta. Meski petualangan dan pengembaraannya telah berlalu
sembilan abad silam, namun kebesaran dan kehebatannya hingga kini tetap
dikenang dunia. (Dikutip dari berbagi sumber, termasuk buku ”Rihlah Ibnu
Batutoh”).