Dalam Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan dalam Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an, kata ulama disebutkan dua kali dan kata ‘alim sebanyak 18 kali. |
Kata ulama merupakan bentuk jamak dari ‘alim, yang artinya orang yang memiliki ilmu. Sebagai istilah, artinya orang yang ahli atau memiliki pengetahuan ilmu agama Islam dan ilmu pengetahuan kealaman (al-‘ulum al-kauniyyah), yang dengan pengetahuannya tersebut memiliki rasa taqwa, takut, tunduk kepada Allah SWT. Meskipun istilah ulama berasal dari bentuk jamak dalam bahasa Arab, pemaknaannya dalam bahasa Indonesia tunggal.
Dalam
Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan dalam Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh
al-Qur’an, kata ulama disebutkan dua kali dan kata ‘alim
sebanyak 18 kali.
Penyebutan kata
al-‘alim (dalam bentuk tunggal) semuanya mengacu hanya kepada Allah,
tidak kepada selain-Nya. Penggunaan kata ini diiringi dengan penciptaan bumi
dan langit serta hal-hal yang ghaib dan yang nyata. Ini mengindikasikan bahwa
munculnya pengetahuan manusia berbarengan dengan munculnya ciptaan-ciptaan
Tuhan.
Dalam pandangan
Syaikh Al-Baijuri dalam kitab Hasyiyah-nya, yang disebut alim itu adalah
orang yang disifati pada dirinya keilmuan sekalipun dengan pengetahuan pada
suatu masalah saja, baik diperoleh dengan usaha belajar maupun ilham dari
Allah (al-faydh al-ilahi) atau ilmu ladunni. Dalam pandangannya yang
lain, ada gelar ‘Allamah, bentuk kata dari alim lainnya, yang artinya
sangat alim, yakni gelar yang ditujukan bagi orang yang menggabungkan yang
tersirat dan tersurat, mengamalkan pengetahuannya.
Prof. Muhammad
Quraish Shihab, ahli tafsir kontemporer Indonesia, mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan ulama ialah orang yang mempunyai pengetahuan tentang ayat-ayat
Allah SWT, baik yang bersifat kauniyyah (fenomena alam) maupun Qur’aniyyah (mengenai
kandungan Al-Qur’an). Pendapatnya ini diinduksi dari dua ayat Al-Qur’an yang
masing-masing menyebut kata “ulama”. Ayat pertama ialah firman Allah SWT dalam
surah Fathir (35): 28, “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang
melata, dan binatang-binatang ternak, ada yang bermacam-macam warnanya (dan
jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya
hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.”
Firman Allah
SWT ini disajikan dalam konteks ajakan Al-Qur’an untuk memperhatikan berbagai
fenomena alam berupa turunnya hujan dari langit, aneka ragam buah-buahan,
gunung, binatang, dan manusia (QS 35: 27). Selanjutnya, Quraish Shihab
mengatakan bahwa ulama adalah orang yang pengetahuannya mengantarkannya
kepada pengetahuan tentang kebenaran Allah SWT serta melahirkan sikap
tunduk, taqwa, dan khasy-yah (takut), apa pun disiplin ilmunya.
Pada mulanya
kata tersebut berlaku bagi sebutan semua komunitas dan orang yang berkecimpung
dalam lapangan ilmu pengetahuan, agama Islam dan umum. Kemudian, mulai abad
ke-2 H/8 M muncul aneka ragam disiplin ilmu serta benih-benih dikotomi di
antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Sejak itu sebutan “ulama” tenggelam
dalam sebutan baru yang sesuai dengan ilmu yang digeluti. Umpamanya, orang
yang bergelut di bidang ilmu fiqih disebut “faqih”, orang yang mendalami studi
hadits disebut “muhaddits”, orang yang ahli dalam menafsirkan Al-Qur’an disebut
“mufassir”, orang yang mendalami ilmu kalam disebut “mutakallim”, dan orang
yang menekuni ilmu filsafat disebut “filsuf”. Bersamaan dengan itu, sebutan
“ulama” secara denotatif menunjuk kepada komunitas orang yang secara khusus
menekuni pengetahuan dan urusan keagamaan.
Pengertian
denotatif tentang ulama ini, jika dihubungkan dengan asal-usul kebahasaannya,
adalah “orang-orang yang memusatkan segala usaha dan perhatiannya untuk
menafsirkan makna wahyu, mendefinisikan makna-makna nash secara terperinci, dan
menggali hukum dengan bertitik tolak dari makna-makna itu”. Penggalian hukum,
dengan demikian, menjadi tugas utama ulama.
Tugas Ulama
Berdasarkan
hadits yang diriwayatkan Imam Al- Bukhari, ulama adalah ahli waris para nabi.
Oleh sebab itu, sesuai dengan tugas kenabian dalam mengembangkan Al-Qur’an,
ada empat tugas utama yang harus dijalankan oleh ulama.
Pertama,
menyampaikan ajaran Al-Qur’an, sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah
Al-Ma’idah (5): 67, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti)
kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.”
Kedua,
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an, sesuai dengan firman Allah dalam surah An-Nahl
(16): 44, “.... Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan....”
Ketiga,
memutuskan perkara yang dihadapi masyarakat, sesuai dengan firman Allah SWT
dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah (2): 213, “.... Dan Allah menurunkan bersama
mereka kitab dengan benar untuk memberi keputusan di antara manusia tentang
perkara yang mereka perselisihkan....”
Keempat,
memberi contoh pengalaman, sesuai dengan hadits ‘Aisyah RA, yang menyatakan,
perilaku Rasulullah SAW adalah praktek terhadap Al-Qur’an (HR Al-Bukhari).
Klasifikasi
Ulama
Imam Al-Ghazali
membagi ulama ke dalam dua kategori, yaitu ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama
dunia adalah orang-orang yang dengan ilmunya bertujuan semata-semata untuk
mencapai kesenangan, kedudukan, dan kehormatan di dunia, sedangkan ulama
akhirat adalah sebaliknya. Menurut Imam Al-Ghazali, ulama dunia digambarkan
oleh Allah SWT dalam firman-Nya QS Ali-Imran (3): 99 dan 187.
Kaum ulama
kelak akan mendapatkan kedudukan lebih tinggi di surga dibanding dengan
yang bukan ulama, karena ulama memiliki ilmu yang dimanfaatkannya untuk
dirinya sendiri maupun orang lain, sesuai firman Allah QS Al-Mujadilah: 11,
“.... Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang
diberikan ilmu (ulama) beberapa derajat.. ..” dan hadits yang berbunyi:
Perumpamaan keutamaan orang alim atas orang abid seperti keutamaanku atas orang
yang paling hina di antara kalian (para sahabat). Sesungguhnya Allah dan para
malaikat-Nya serta penghuni langit dan bumi hingga semut di lubangnya dan ikan
di laut benar-benar akan memanjatkan shalawat bagi orang alim yang mengajarkan
kebaikan kepada manusia (HR At-Tirmidzi).