Dalam
sejarahnya, posisi perempuan acapkali ditempatkan pada posisi kelas dua. Stigma
negatif tak bisa dilepaskan begitu saja dari kaum perempuan. Istilah ‘konco
wingking’ (teman belakang) juga sering digunakan untuk mencerminkan hal
negatif dari perempuan.
Namun
kini, harus diakui sikap menomorduakan kaum hawa berangsur mulai berubah.
Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia telah
memberikan ruang kepada kaum perempuan. Melalui Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul
Ulama (IPPNU), Fatayat, dan Muslimat membuktikan bahwa Nahdlatul Ulama, secara
nyata, telah memberikan perhatian besar atas hak-hak perempuan.
Muslimat,
walau dalam proses berdirinya diwarnai perdebatan alot, namun dalam kiprahnya
telah membuktikan bahwa berdirinya organisasi ini tidaklah mengecewakan.
Muslimat hadir dengan serangkaian program kegiatan untuk turut membangun
bangsa.
Hal
inipun diakui Presiden Joko Widodo. Sebagaimana dilansir situs resmi Nahdlatul
Ulama, pada puncak Harlah Muslimat kemarin (26/3), presiden menyampaikan
apresiasi kepada Muslimat. Presiden menilai, bahwa selama 70 tahun berdiri,
Muslimat telah memainkan peran yang sangat besar bagi bangsa dan negara.
Muslimat berperan mulai dari kegiatan sosial, pendidikan, kesehatan hingga
penangkalan radikalisme. Tentu apa yang disampaikan oleh presiden bukanlah hal
yang berlebihan.
Perempuan
dalam sejarah
Sejarah
mencatat, baik dalam konteks keislaman maupun kenegaraan, perempuan telah
memainkan peran penting. Terdapat tokoh-tokoh perempuan yang menjadi pemimpin,
ulama, perawi hadits, dan peran lain yang tidak bisa dianggap sebelah mata.
Pada masa Nabi Muhammad, tercatat ada 1.232 perempuan yang menerima dan
meriwayatkan hadits. Ummul Mukminin, Sayyidah Aisyah, bahkan tercatat sebagai
bendaharawan hadits dengan 2.210 hadits. Asy-Syifa’, seorang perempuan yang
pernah ditunjuk Khalifah Umar sebagai manajer pasar di Madinah.
Tak
berhenti di situ, Nusaibah binti Ka’ab tercatat dalam sejarah sebagai perempuan
yang memanggul senjata melindungi Nabi Muhammad ketika perang Uhud. Ada lagi
Ar-Rabi’ binti Al-Mu’awwidz, Ummu Sinan, Ummu Sulaim, dan Ummu Athiyah yang
beberapa kali ikut turun ke medan laga. Belum lagi Khadijah, istri pertama
Rasulullah, seorang pebisnis sukses, yang berperan penting dalam kesuksesan
dakwah Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam (Siradj, 2012:
245).
Dalam
bidang keilmuan bisa pula dihadirkan contoh manaqib Imam Syafi’i yang
menyebutkan bahwa tokoh yang wafat pada 204 hijriah ini pernah berguru pada 16
ulama perempuan. Sementara kepemimpinan, di tanah Mesir pernah muncul Ratu
Syajaratuddur, seorang penguasa putri dari Dinasti Mamalik. Di tanah Aceh
Darussalam pula, sejumlah putri istana pernah menjadi raja atau sultan (Siradj,
2012: 248-250).
Selain
yang telah disebut di atas, bagaimana peran kaum perempuan yang lain? Dalam
kaitannya dengan sejarah Indonesia, selain kepemimpinan putri istana di Aceh
Darussalam, Nyai Solichah Wahid Hasyim dan Ibunda Kiai Saifuddin Zuhri bisa
menjadi contoh lainnya (Baso, 2015: 194-200).
Ada
tiga peristiwa, yang paling tidak dapat mewakili bagaimana peran Nyai Solichah
Wahid Hasyim. Pertama, Nyai Solichah Wahid Hasyim mengambil inisiatif untuk
mengumpulkan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama, baik laki-laki atau perempuan, untuk
menyikapi situasi genting pasca Gerakan 30 September 1965. Kedua, ketika
program Keluarga Berencana digulirkan pemerintah, Nyai Solichah turut
menyosialisasikan dan melakukan pendekatan terhadap Nahdliyyin, guna turut
andil dalam mengendalikan laju penduduk. Ketiga, ketika terjadi konflik di
internal Nahdlatul Ulama, kelompok Cipete dan kelompok Situbondo, Nyai Solichah
tampil mendekati, menjembatani dan mengarahkan pertemuan diantara dua kelompok
yang berkonflik.
Sementara
Ibunda Kiai Saifuddin, ia berperan penting dalam penyelamatan salahsatu ruh
pergerakan, buku Mencapai Indonesia Merdeka, karya Soekarno. Saat itu,
polisi kolonial Belanda terjun ke desa-desa yang disinyalir menjadi sarang
aktifis nasionalis. Para polisi ini menggeledah rumah warga untuk mencari buku
Soekarno tersebut, sebab isinya dianggap berbahaya. Ibunda Kiai Saifuddin, yang
kala itu didatangi dua orang untuk diberi amanah mengamankan buku penting tersebut,
tampil dengan menyimpan buku Soekarno itu dalam periuk nasi.
Hal
yang tak terduga (baca: menyimpan buku dalam periuk nasi) akhirnya
menyelamatkan buah pemikiran Soekarno. Langkah cerdas perempuan ini dapat
menyelamatkan buku Mencapai Indonesia Merdeka, sehingga gagasan-gagasan
sang proklamator (masih) dapat dikonsumsi publik.
Sekali
lagi, dalam konteks sejarah, peran perempuan tidaklah mungkin diabaikan. Kini,
di era modern dengan segenap derap langkahnya wanita bergerak, membangun,
berkontribusi di wilayahnya masing-masing.
Pun
bagi Muslimat. Program kegiatan yang dicanangkan harus senantiasa memberikan
kemanfaatan. Dan deklarasi anti narkoba yang digelorakan pada puncak harlah ke
70 kemarin, telah menunjukkan hal itu. Muslimat bergandengan tangan dengan
pemerintah untuk memeberantas narkoba; perusak generasi bangsa.
Diumur
yang tak lagi muda ini, Muslimat harus konsisten berpihak kepada umat. Muslimat
tidak boleh terombang-ambing oleh arus politik dan kesenangan sesaat. Hal ini
penting, sebab tak lama lagi Pilkada serentak jilid dua akan digelar. Dalam hal
ini, suara Muslimat pasti menjadi rebutan.
Muslimat
harus menjadi panutan. Muslimat harus berperan aktif dalam dakwah keagamaan
yang santun dan eksklusif. Mandiri dengan ekonomi kreatif. Cerdas dengan
pendidikan yang inovatif. Perempuan-perempuan Nahdlatul Ulama tak boleh ragu
untuk menjadi pelopor kebangkitan umat.
Penulis
adalah Mahasiswa
Filsafat Politik Islam, UIN Sunan Ampel. Koord. Lembaga Pers Ikatan
Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) UIN Sunan Ampel periode 2013-2014.