Kalam-kalam
Langit bertutur tentang niat, sesuatu yang ‘abstrak’ dan subjektif. Tentang
Ja’far (Dimas Seto) yang mempunyai bakat di bidang tilawatil Qur’an dan
memiliki kesempatan untuk mengikuti MTQ. Bakatnya terpantau sejak kecil, saat
ia menjuarai MTQ tingkat madrasah. Tak heran sebetulnya, sebab ibunya dulu juga
seorang qari’ah.
Namun,
keahlian Ja’far di bidang seni baca Al-Qur'an ini terhenti karena
ketidaksetujuan ayahnya yang melarang ia mengikuti pelbagai perlombaan.
Alasannya, ia khawatir Ja’far akan terjebak pada niat yang salah. “Jangan
menjual ayat suci hanya untuk mencari keuntungan atau popularitas,” kata ayah
Ja’far yang diperankan Mathias Muchus. Saat itu, ibunya sakit-sakitan dan tak
lama kemudian meninggal.
Lulus
SD, Ja’far melanjutkan pendidikannya ke pesantren. Bersama dengan Nisa (Elyzia
Mulachela), sahabat baiknya sejak kecil. Nisa tak hanya baik sebagai teman, ia
juga sahabat yang andal dalam menghafalkan Qur’an. Di pesantren, Ja’far tetap
berteman dengan Nisa. Tetapi kehadiran Azizah, putri Kiai Humaidi, sang
pemimpin pesantren, di keseharian mereka membuat Nisa cemburu.
Ya,
Nisa telah menyimpan rasa kepada Ja’far terutama sejak di pesantren. Alih-alih
memahami perasaan Nisa, Ja’far justru meminta Nisa untuk menyampaikan surat
cintanya kepada Azizah—tentu saja, karena cemburu, surat tersebut tak pernah ia
sampaikan. Sementara, di sisi lain Azizah telah diincar oleh Syathori (Ibnu
Jamil).
Bahkan
di pesantren sekalipun, setidaknya dalam Kalam-kalam Langit, selalu ada
‘antagonis’ (yang kehadirnnya dengan atau tanpa sebab berkait dengan kebutuhan
cerita). Bentuk dan skalanya variatif; mulai dari kecurangan dalam MTQ, hingga
kasus pacaran, keluar dari pesantren tanpa izin, merokok, ghozob yang,
diakui atau tidak, sering pula terjadi di pesantren.
Syathori,
dalam visualisasi cambang yang lebat dan celak hitam yang mengitari matanya,
nyalang berikrar ingin kembali mewakili Pesantren Al Amin dalam perlombaan MTQ.
Selain terobsesi menjadi juara, ia punya motif lain: ingin mendapatkan Azizah.
Motif itulah yang kiranya menjadi kekhawatiran ayah Ja’far.
Maka
dalam satu adegan, orang tua Ja’far berpesan kepada putranya, "bacalah
Qur’an atas nama Tuhanmu. Menata niat seperti itulah yang justru digambarkan
menjadi kesulitan terbesar seorang qari’." Bahkan sampai saat itu, Ja’far
masih terus belajar untuk memposisikan bacaan Qur’an-nya sebagai ‘dakwah’.
Sementara Syathori telah tergelincir pada niatan yang salah.
Dan,
antagonis selalu licik. Ja’far yang telah dipilih Kiai Humaidi untuk mewakili
Al Amin, setelah sebelumnya dikuatkan KH Said Aqil Siradj, "Membaca Qur’an
dengan suara yang enak dan merdu adalah bagian dari dakwah"—justru
difitnah oleh Syathori dengan tuduhan yang sebetulnya ia lakukan sendiri.
Saat
itu Ja’far pulang dan bolos belajar qira’ah kepada Kiai Humaidi lantaran
ayahnya sakit dan harus segera dioperasi. Ia butuh uang untuk operasi. Nisa
mendapat pinjaman dari Syathori dengan syarat Ja’far harus mengundurkan diri
dari MTQ. Tanpa diduga, mentah-mentah ayahnya menolak bantuan itu. “Sejak kapan
kamu bisa dibeli,” kata ayah Ja’far. “Kamu harus takut sama Gusti Allah.”
Maka
Ja’far kembali ke pesantren dan mengembalikan uang pemberian Syathori dan
mengikuti MTQ. Sayang, menjelang pengumuman, ada kabar bahwa ayah Ja’far
meninggal. Ada keharuan yang menyeruak di benak dalam potongan-potongan adegan
bagian ini. Tentang pertanyaan; apa lagi yang kau cari, yang bisa kau berikan
dan banggakan kepada orang tua, bila mengaji saja tak bisa atau tak pernah?
Dan
lantunan Ar-Rahman yang bertalu-talu membasahi jiwa yang kering kerontang.
Menimbulkan getaran-getaran yang patut disyukuri, bahwa hati kita masih bisa
lumer dan tersentuh dan tidak membantu saat dibacakan Kalam-Kalam Langit. Film
ini sungguh nostalgia, bagi orang-orang yang telah lama meletakkan Qur’an di
daftar bacaan terakhir setelah koran dan media sosial.
Perjalanan
‘sufistik’ Ja’far cukup panjang, hingga muncul pertanyaan pada diri sendiri:
“Apakah ini jalanku menuju-Mu, atau hanya nafsu kemenangan?” Tapi ia selalu
diingatkan pesan almarhum ayahnya, bacalah (hanya) atas nama Tuhanmu, dan untuk
ibumu. Kesulitan menata niat bahkan bisa kita rasakan ketika perhelatan MTQ
tingkat nasional...
Azizah
menerima lamaran Syathori—hal yang cukup menyesakkan sebetulnya. Dan saat itu,
ia meminta bertemu dengan Ja’far hanya untuk memintanya mengundurkan diri dari
perlombaan. Suaminya, kata Azizah, sangat terobsesi menjadi juara. “Kalau kamu
tidak mau melakukannya, lakukanlah demi aku,” kata Azizah.
Kalimat
itu memberikan kita pelajaran: kita mesti memilih jodoh yang baik. Sebab,
seperti halnya kebaikan, keburukan pun menular. Saat final, Ja’far mengedarkan
pandangan ke seluruh hadirin. Kita merasakan betapa emosionalnya momen itu. Di
depan Azizah, Ja’far bisa saja berkeinginan membuktikan bahwa ia lebih baik
daripada Syathori.
Cerita
berakhir dengan kemenangan. Ja’far mempersembahkan piala juara MTQ ke pusaran
ibunya. Kemudian muncullah Nisa, yang terkesan buru-buru berujar: “Aku mencari
imamku.”—terlampau menyederhanakan cerita. Ja’far memang tidak mendapat apa
yang ia inginkan (Azizah), tetapi yang ia memperoleh apa yang ia butuhkan:
Nisa.
Penulis
adalah Ketua LTN PCNU Kota Bekasi