Khofifah Indar Parawansa lahir di
Surabaya, 19 Mei 1965. Sejak muda aktif di berbagai kegiatan sosial dan
organisasi sosial kemasyarakatan. Karena prestasinya, ia telah menerima
beberapa penghargaan. Penghargaan yang cukup kuat dalam ingatannya yaitu
sebagai tokoh penggerak masyarakat dari Islamic fair of Indonesia tahun
2011/1433 H.
Khofifah memang aktif dalam layanannya
lintas area. Misalnya ia pernah menyelenggarakan Training of Trainer
bagi tokoh lintas agama dalam membangun perspektif multi kultur dan
harmoni kehidupan antar umat beragama di Makassar, Ternate, Ambon dan
lain-lain. Semua daerah yang mengalami konflik sosial pernah ia datangi.
Berbagai program multi kultur tetap menjadi bagian dari nafas
kehidupannya sebagai warga bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Sebagai
Ketua Umum PP Muslimat NU, ia juga pernah menyelenggarakan Training Of
Trainer bersama Badan nasional Penanggulangan terorisme dalam
pembentukan Forum Koordinasi Penanggulangan Terorisme di beberapa
propinsi.
Tak hanya itu, alumni Unair ini memang
rajin keliling ke berbagai daerah tertinggal, terluar dan terpencil
untuk mengajarkan program kecakapan hidup. Secara keseluruhan lebih dari
79 kabupaten yang telah di kelilingi untuk menyemai program
pemberdayaan ekonomi melalui program kecakapan hidup.
Bidang lingkungan hidup juga menjadi
perhatiannya, ia secara terus menerus menyerukan kepada warga Muslimat
NU dan warga masyarakat pada umumnya, di berbagai tempat dan kesempatan
agar menjaga lingkungan hidup dan terus menanam. Tugas itu dilakukan
dalam rangka menjalankan komitmen pelaksanaan Millenium Development
Goals. Gerakan menanam pohon di lingkungan jaringan Muslimat NU
se-Indonesia telah mencapai 1.8 juta pohon tahun 2003-2007. Karena itu,
tahun 2011, Khofifah mendapat penghargaan dari Menteri Kehutanan atas
kontribusinya.
Dalam hal pemberdayaan ekonomi
perempuan, sejak tahun 1996 Khofifah memiliki komitmen untuk membangun
koperasi. Hasilnya, tahun 2008, Muslimat NU telah berhasil membentuk
Induk Koperasi, dan Khofifah sebagai inisiator Koperasi An-Nisa’
mendapatkan penghargaan dari Menteri Koperasi dan UKM. Penghargaan dari
Kementerian Koperasi dan UKM juga diterima kembali pada tahun 2013.
Keprihatinannya pada perekonomian
masyarakat dimulai saat ia 2 SMP. Dimana setiap sore, saat pulang
mengaji ia melihat masyarakat harus membayar bank kredit yang bunganya
tinggi. Keprihatinan tersebut akhirnya menginspirasinya membuat koperasi
Simpan Pinjam. Persisnya, pada tahun 1984, ia mengajak anggota
keluarganya untuk mengumpulkan uang sebagai awal dari embrio pembentukan
Koperasi Simpan Pinjam. Kebetulan saat masuk di PP Muslimat NU tahun
1995, ia dipercaya sebagai Ketua Bidang Koperasi. Saat menjadi anggota
DPR Periode 2004-2009, ia pun pernah menjadi Ketua Komisi VI (2004-2006)
yang membidangi Industri, perdagangan, BUMN dan Koperasi. Selanjutnya
mulai tahun 2010 menjadi Wakil Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia yang
membidangi Pemuda, Wanita dan Hubungan Daerah, hingga sekarang.
Lima tahun terakhir, perempuan yang
pernah menjadi aktivis PMII dan IPPNU ini juga rajin menghadiri berbagai
pertemuan koperasi Internasional (ICA, International Cooperative
Alliance). Sehingga jaringan dengan gerakan koperasi dunia dan gerakan
koperasi nasional menjadi bagian dari upaya mewujudkan pemerataan
kesejahteraan secara bertahap diharapkan bisa terwujud.
Dalam bidang kesehatan, melalui Global
Alliance for Vaccine Immunization (GAVI) telah terlatih lebih 21 ribu
kader kesehatan di tingkat desa. Melalui layanan kesehatan ini, ia telah
mendapatkan penghargaan dari Menteri Kesehatan dua kali, yaitu tahun
2006 dan 2014 melalui jaringan layanan di Muslimat NU, serta penghargaan
dari BKKBN tahun 2014. Sementara untuk layanan kesehatan, saat ini
Muslimat NU telah mengelola 108 Rumah Sakit/Rumah Bersalin dan Klinik.
Lima tahun terakhir yang di kembangkan adalah klinik hemodialisa untuk
melayani pasien gagal ginjal.
Dibidang dakwah, ia terus menggerakkan
jajaran Muslimat NU agar terus meningkatkan layanan maupun berbagai
upaya promotif-preventif, khususnya melalui lembaga Himpunan Daiyah dan
Majelis Ta’lim di lingkungan Muslimat NU yang saat ini telah mencapai
59.650 lembaga.
Kerja sosial kemasyarakatan lainnya
adalah melayani anak yatim, anak terlantar dan anak fakir miskin
lainnya, baik melalui sistem panti maupun non panti. Saat ini, di bawah
kepemimpinannya, Muslimat NU telah memiliki 103 Panti Asuhan dengan
sekitar 6500 anak asuh dalam panti dan lebih 7500 anak non panti.
Di bidang pendidikan, sejak tahun 2000
Khofifah diamanatkan sebagai Ketua Umum Yayasan Taman Pendidikan dan
Sosial NU Khadijah Surabaya. Lembaga pendidikan tersebut saat ini
mengasuh 2692 murid mulai PAUD-TK-SD-SMP –SMA. Khusus SD, SMP dan SMA
sejak tahun 2011 telah mendapatkan ID 268 dari Cambridge University.
Bahkan SMA Khadijah telah mendapatkan ISO 9001.
Di lingkungan Muslimat NU sendiri saat
ini tengah mengelola 14.350 Taman Pendidikan Al-qur’an, 9.986 Taman
Kanak-kanak dan Roudlotul Athfal, 4.622 lembaga Pendidikan Anak Usia
dini, 1571 Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat, dan 10 Balai Latihan
Keterampilan. Dari berbagai aktifitas pendidikan ini, tahun 2008, ia
mendapat penghargaan dari Kementerian Pendidikan Nasional, terkait
dengan pemberantasan buta huruf melalui jaringan Muslimat NU.
Begitu banyaknya layanan di lingkungan
Muslimat NU, maka setiap kunjungannya ke daerah layaknya anggota DPR.
Selain konsolidasi organisasi, ia juga mengunjungi lembaga pendidikan,
lembaga kesehatan, panti asuhan, koperasi, dan sebagainya. Khofifah
sering menyebut dirinya bukanlah politisi yang baik. Ia merasa tidak
suka dengan suasana yang sering sarat dengan berbagai interest yang
berdampak pada konflik.
“Meskipun komunikasi dan intensitas
aktifitasnya sering bersinggungan dengan politik, tetapi terhitung mulai
tahun 2005, saya bukan menjadi bagian dari pengurus partai apapun.
Rasanya melayani ummat lebih dekat dengan surga,” katanya.
Politik bagi khofifah seperti pepatah
Imam Al Mawardi : Agama dan Kekuasaan itu seperti saudara kembar. Agama
akan menjadi pondasi, dan kekuasaan akan menjaganya. Maka Politik
menjadi bagian dari upaya menata kehidupan masyarakat, agama, bangsa dan
negara.
Terkait dengan intensitas komunikasi
politik yang dia lakukan, sebuah fenomena silaturrahim bersejarah
terjadi pada 3 Mei. Jokowi datang ke kediaman Khofifah untuk melamarnya
sebagai juru bicara. Hingga akhirnya ia dilantik sebagai Menteri Sosial
Kabinet Kerja.
Untuk diketahui, Khofifah pernah
menjabat sebagai menteri pemberdayaan perempuan dan kepala BKKBN para
era presiden KH Abdurrahman Wahid tahun 1999-2001. Bukan hanya karena
turut memenangkan pasangan Jokowi-JK, Khofifah memang layak menempati
posisi menteri karena kemampuannya. Ia juga sosok yang bersih dan tak
pernah berkasus.
Nama Khofifah bukanlah orang baru di
kancah politik nasional. Aktivis perempuan ini sudah dikenal khalayak
sejak masih muda. Bahkan di DPR, ia tercatat sebagai anggota DPR paling
muda kala maju dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namanya semakin
dikenal publik kala membacakan pidato sikap Fraksi Persatuan Pembangunan
(F-PP) dalam SU MPR 1998.
Pidato Khofifah itu sangat monumental
karena merupakan pidato kritis pertama terhadap Orde Baru di ajang resmi
selevel Sidang Umum MPR. Ia mengkritik Pemilu 1997 yang penuh
kecurangan dan pertama kali ia memunculkan terminologi refomasi politik.
Perempuan cerdas itu melontarkan ide-ide demokratisasi, ia berbicara
lantang layaknya mahasiswa yang demo di jalan. Para anggota MPR yang
didominasi Fraksi Karya Pembangunan (Golkar), Fraksi ABRI, dan Fraksi
Utusan Golongan terperanjat dengan pidato yang menohok jantung Orde Baru
itu.
Yang paling terkejut adalah Fraksi ABRI
dan Fraksi Karya Pembangunan. Maklum, yang dibacakan Khofifah sangat
berbeda dengan naskah yang diterima oleh Cilangkap (Mabes ABRI) dari
FPP. Di era Orba semua pidato di depan institusi resmi atau di depan
publik terlebih dahulu diserahkan ke Cilangkap. Mengapa naskah pidato
yang dibacakan Khofifah berbeda dengan yang diserahkan ke Cilangkap?
Ternyata ada ceritanya. Setelah ditunjuk menjadi juru bicara FPP,
perempuan kelahiran Surabaya itu menerima naskah pidato resmi. Salinan
pidato itu juga diserahkan ke Cilangkap.
Khofifah mempunyai kebiasaan selalu
membaca berulang-ulang sebelum tampil di muka umum. Bahkan, di rumahnya
pun dia membuat simulasi. Isi pidatonya memang memuji-muji pemerintah
Soeharto. “Bahkan, pembantu saya berkomentar, kok hanya memuji,” cerita
Khofifah.
Sebelum dibacakan di depan MPR, naskah
itu juga dibaca secara resmi dalam forum internal anggota FPP. Di depan
koleganya itu, suara Khofifah tak keluar. Sejumlah anggota FPP langsung
mengusulkan agar Khofifah diganti. Namun, beberapa tokoh senior FPP saat
itu, seperti Yusuf Syakir, tetap mempertahankan Khofifah. Saat itu ia
menjabat ketua FPP MPR RI. Lantas, Khofifah diajak bertemu dengan Ismael
Hasan Metareum (Ketua Umum PPP) waktu itu.
Khofifah ditanya apa yang menyebabkan
suaranya tak keluar. “Isi naskah tak sesuai dengan hati nurani saya,”
jawab Khofifah. Dia tidak sreg dengan pidato yang isinya full
memuji Orba itu. Lantas, para pemimpin PPP memutuskan merombak naskah
pidato tersebut. Urusan merombaknya pun diserahkan kepada yang membaca.
“Saya langsung merombaknya. Saya tulis sesuai dengan hati nurani dan
obyektifitas secara empirik. Sekitar 90 persen isi naskah yang saya
ganti,” cerita Khofifah.
Saat naik ke podium SU MPR, Khofifah
begitu percaya diri. Dia berbicara dengan lantang. Mengkritisi gaya
pemerintah yang mengekang demokratisasi. Mengungkit pemilu yang berada
dalam kekangan pemerintah.
Para penonton TV di rumah yang saat itu
sudah dijangkiti sikap apatis terhadap Orba pun bertepuk tangan. TV
diperbolehkan siaran langsung karena salinan pidato Khofifah sudah
diserahkan ke Cilangkap. Tapi, kenyataannya, pidato yang dibacakan
perempuan lulusan Unair itu berbeda dengan yang berada di tangan para
jenderal.
Turun dari panggung pidato, Khofifah
disambut senyum kecut oleh para petinggi F-ABRI yang duduk di depan.
Bahkan, sejumlah petinggi langsung menegurnya karena mengungkit-ungkit
pemilu yang telah berlalu. Khofifah pulang ke Hotel, tempat dimana
anggota MPR menginap. Namun, suami tercintanya, Indar Parawansa, meminta
Khofifah beristirahat di rumah. Dia khawatir terjadi sesuatu yang tak
diinginkan.
Pidato Khofifah itu menjadi catatan
sejarah. Itu pidato formal di forum formal yang secara terbuka
mengkritik rezim Soeharto yang tengah berkuasa. Pidato yang mengangkat
Khofifah menjadi politisi yang disegani di tanah air.
Perubahan peta politik pasca lengsernya
orde baru membuat Khofifah keluar dari PPP. Merasa kiprahnya di dunia
politik dihantarkan oleh NU, Khofifah dipanggil Gus Dur untuk diajak
pindah ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai yang didirikan oleh
Gus Dur dan tokoh-tokoh NU pada awal era reformasi.
Selanjutnya, Pada 1999 ia kembali duduk
di DPR sebagai wakil PKB. Sinar karirnya terlihat semakin terang saat
ditunjuk sebagai Wakil Ketua DPR RI, berjalan 22 hari ditunjuk sebagai
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan kepala BKKBN.
Bagi Khofifah partai adalah kendaraan.
Sementara NU adalah rumah. Karena itu, meski aktif di partai, Khofifah
tetap mendedikasikan hidupnya untuk NU, organisasi yang selama ini
berperan besar membesarkan namanya. Hingga kini, Khofifah masih
dipercaya menjadi Ketua Umum Muslimat NU, organisasi perempuan terbesar
di Indonesia dengan anggota sekitar 22 juta dan Muslimat NU tercatat
sebagai organisasi paling solid di NU.
Muslimat NU saat ini memiliki 144
koperasi primer, 19 puskop dan induk koperasi;108 rumah sakit, rumah
bersalin dan klinik; 104 panti asuhan, 9.986 TK/RA, 4.622 Pendidikan
Anak Usia Dini. 14.350 Taman Pendidikan Al-qur’an. 59.650 kelompok
Majelis Ta’lim.
Sumber : http://www.pmii.or.id/khofifah-dilahirkan-sebagai-pelayan-ummat/