Baru-baru ini kita melihat semangat keislaman yang
menggelora dari generasi muda. Sayangnya, semangat memunculkan Islam sebagai
alternatif terbaik itu tidak diimbangi dengan pemahaman yang ‘mumpuni’ dalam
ilmu agama. Merasa bangga ketika memperjuangkan ‘simbol’, akan tetapi buta
terhadap ‘esensi’. Karakter yang melekat dari inklinasi semacam ini adalah,
mudah sekali menuduh kafir kelompok lain yang tidak se-ide dengan pemikiran
mereka.
Itulah Hizbut Tahrir. Partai yang masuk ke Indonesia sekitar tahun 1980 ini,
cukup mendapat respon yang baik dari pemuda-pemuda kampus yang tidak mempunyai
background yang mumpuni tentang pengetahuan Islam. Penulis menduga kuat,
suksesnya dakwah mereka cukup paralel dengan slogan-slogan islamis yang
dielu-elukan oleh simpatisan ‘Partai Pembebasan’ ini.
Pada tulisan ini, penulis hendak membedah inti pemikiran Hizbut Tahrir dari
sumber-sumber primer mereka, kemudian penulis akan coba komparasikan dengan
pendapat ulama-ulama serta pemikir kontemporer terkait masalah yang dibidik.
Permasalahan yang coba penulis tampilkan adalah asumsi keharusan mendirikan
Negara Islam sebagai wahana pemersatu umat Islam se-dunia. Permasalahan pertama
ini tersusun dari premis-premis; pertama, kedaulatan rakyat adalah sistem kufur
yang diciptakan oleh Barat. Karenanya, demokrasi dianggap sistem kufur sebab
bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Kedua, praktek politik pada masa Nabi
merupakan representasi ideal—sekaligus diasumsikan diambil dari nash
qath’iy--bagi kelangsungan politik untuk era sekarang. Khilafah Islamiyyah—bagi
mereka--juga alternatif terbaik untuk mengentaskan umat Islam dari hegemoni
Barat.
Sejarah Kemunculan dan Falsafah Pemikiran Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir lahir di Palestina tahun 1953, dengan pendirinya Taqiyuddin
al-Nabhani, seorang Hakim di Haifa. Berdirinya Partai Kebebasan ini erat
kaitannya dengan invasi Israel ke Palestina dan runtuhnya kekhalifahan Turki
Utsmani yang tumbang tahun 1924. Awalnya al-Nabhani merupakan pengagum Sayyid
Quthb, dan sempat memberikan beberapa kuliah di markas besar Ikhwanul Muslimin
di Yerusalem. Lahir di desa Ijzim, Palestina, 1914 M. Nama lengkapnya
adalah Taqiy Al-Din bin Ibrahim bin Musthafa bin Isma’il bin Yusuf Nashir Ad
Din An Nabhani. Hidupnya berpindah-pindah, dari Jordania, Syiria,dan akhirnya
wafat Lebanon. Ia sempat mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo,
Mesir pada tahun 1928 M. Al-Nabhani terbilang cukup produktif, beberapa buah
karyanya adalah; Nidzam al-Islam, al-Takattul al-Hizbi, Mafahim Hizb al-Tahrir,
al-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam, al-Nidzam al-Ijtima’i fi al-Islam, Nidzam
al-Hukmi fi al-Islam, al-Dawlah al-Islamiyyah, Mafahim Siyasiyah li Hizb
al-Tahrir, dan lain sebagainya. Buku yang dianggit sebelum mendirikan
Partai Pembebasan bertajuk Risalat al-Arab.
Sistem kepemimpinan Hizbut Tahrir disebut ‘Imarah’ yang dipegang oleh Amir
al-Hizb. Batas kepemimpinan Amir al-Hizb tidak terbatas, atau seumur hidup.
Taqiyuddin al-Nabhani sendiri memegang tampuk Amir al-Hizb sampai tahun 1977
(sekaligus tahun wafat beliau). Selepas Al-Nabhani, tampuk Amir digantikan oleh
Abdul Qadim Zallum (1977). Sebagaimana al-Nabhani, Abdul Qadim Zallum pernah
mengenyam pendidikan di al-Azhar. Perjumpaannya dengan Taqiyuddin al-Nabhani
terjadi pada tahun 1952, atau satu tahun sebelum Partai ini berdiri. Di antara
karya Zallum adalah; al-Amwal fi Dawlat al-Khilafah, Nidzam al-Hukm fi
al-Islam, al-Ta’rif bi Hizb al-Tahrir, al-Dimuqrathiyyah Nidzam Kufr, dan
sebagainya.
Wafatnya Abdul Qadim Zallum (2003) ditandai dengan perpecahan di tubuh Partai.
Masa vakum ini memunculkan kelompok sempalan Hizbut Tahrir yang menamakan diri
mereka kelompok reformis (al-Tayyar al-Ishlahi). Kelompok reformis pada
hakikatnya merupakan oposisi dari Amir ketiga, Atha’ Abu Rasytah—yang masih
memegang posisi Amir sampai sekarang, Juru Bicara Hizbut Tahrir Yordania
sekaligus pengganti Abdul Qadim Zallum. Sebab, ketika Abu Rasytah didaulat
menjadi Amir, dari kelompok reformis ini telah mengajukan Amir sendiri, Abu
Bakar al-Khuwalidah.
Dalam perjalanan pergerakan Hizbut Tahrir, mereka membagi dalam tiga fase
penting; pertama, fase doktrinasi pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir secara
personal, agar masyarakat menerima eksistensi mereka. Pada fase yang diawali
semenjak 1953 ini, Taqiyuddin al-Nabhani sangat berperan besar. Sebab secara
langsung ‘turun lapangan’ memperkenalkan pada masyarakat doktrin-doktrin Hizbut
Tahrir. Pada saat respon masyarakat dinilai positif, mereka melanjutkan pada
fase kedua; interaksi dengan masyarakat agar mereka ikut merasakan dakwah Islam
dan mempunyai kesadaran yang sama tentang realitas Islam. Pada fase ini, Hizbut
Tahrir mulai memerangi pemikiran-pemikiran yang tidak sejalan Islam secara
massif. Memprogandakan cacatnya kepemimpinan yang tidak sejalan dengan Islam.
Setelah masyarakat mulai kehilangan kepercayaan dengan pemimpin mereka, Hizbut
Tahrir mulai beralih ke fase ketiga; penerimaan kekuasaan melalui penegakkan
Negara Islam guna mengaplikasikan Islam secara komprehensif.
Dalam buku bertajuk Hizb al-Tahrir, keluaran Hizbut Tahrir, definisi Partai
Pembebasan ini adalah partai politik yang berideologi Islam, dan lahan
dakwahnya dalam ranah politik, serta memimpin umat Islam untuk kembali pada
pemerintahan Islam sehingga mampu berhukum dengan sebagaimana yang sudah
diturunkan oleh Allah.
Falsafah yang mendasari berdirinya ‘partai pembebasan ini’—sebagaimana
terangkum dalam buku terbitan Hizbut Tahrir sendiri yang bertajuk Mafahim Hizb
al-Tahrir—berpijak dari kemunduran massif peradaban Islam semenjak abad 12 H
yang berbanding lurus dengan lemahnya semangat umat Islam untuk memperdalam
Islam itu sendiri. Lemahnya generasi umat Islam untuk memperdalam Islam—bagi
mereka—inheren dengan upaya memisahkan Arab dan Islam. Sedang gagalnya
proyek kebangkitan—yang bertopang dari Islam—setidaknya kembali pada tiga alasan;
pertama, tidak memahami secara komprehensif pemikiran Islam; kedua, hanya
memperdalam hukum yang bersifat teoritis, akan tetapi mengabaikan aspek
praksis; ketiga, asumsi keterpisahan pemikiran Islam dan aplikasinya.
Keterpisahan mempelajari hukum Islam yang terpisah dari cara implementasinya
secara total termanifestasikan tatkala umat Islam berbondong-bondong
mempelajari tatacara shalat, puasa, nikah, talak, akan tetapi mengabaikan hukum
Jihad, ghanimah, hukum-hukum dalam pemerintahan, dan sebagainya. Sehingga pada
abad 19 M, ada pemahaman yang keliru terkait paradigma aplikasi Islam dalam
masyarakat; Islam ditafsirkan agar kontekstual dengan masyarakat, bukan
masyarakat yang menyesuaikan dengan Islam. Dengan demikian, merupakan keharusan
untuk mengaplikasikan Islam sebagaimana adanya pada masyarakat tanpa
terpengaruh waktu, tempat atau masa.
Oleh karena itu, diperlukan adanya gerakan Islam yang mengembalikan Islam pada
wacana teori sekaligus memungkinkan mengaplikasikannya secara total, dan
memulai hal tersebut dari skala yang paling kecil; dunia Arab. Inilah awal mula
muncul ide untuk mendirikan Negara Islam. Dimulai dari skup yang terkecil untuk
bermu’amalat secara Islami, kemudian melebarkan sayapnya ke penjuru
negeri.
Selain itu, kewajiban umat Islam adalah menerapkan hukum Islam secara paripurna
di semua sendi kehidupan, melalui Undang-Undang atau peraturan yang bersumber
dari al-Qur’an dan al-Hadis. Aplikasi secara sempurna tersebut tidak mungkin
terwujud terkecuali dengan wujudnya negara yang bisa mengakomodir semua itu.
Itulah Negara Islam, dimana Khalifah atau pemimpinnya menerapkan syariat Islam
secara sempurna.
Hizbut Tahrir dalam merealisasikan agendanya melalui penguasaan parlemen
sehingga mampu mendirikan Negara Islam. Adapun piranti untuk sampai pada
parlemen adalah; pertama, memusatkan perhatian pada upaya doktrinasi terhadap
masyarakat tentang Islam (al-ihtimam bi al-‘amal al-tsaqafi/tastqif). Pada
aspek ini, seperti pernyataan al-Nabhani sendiri dalamal-Takattul al-Hizby,
Hizbut Tahrir jelas mengikrarkan pengabaian terhadap aspek etika dalam Islam,
dan mengedepankan pemikiran dan pengetahuan tentang peradaban Islam. Kedua,
memusatkan perhatian aktivitasnya dalam ranah politik (al-ihtimam bi al-‘amal
al-siyasi). Dalam ranah politik, mereka berusaha sekuat mungkin untuk
meruntuhkan aturan-aturan yang dibuat bukan dari asas islami. Dalam buku yang
bertajuk Manhaj Hizb al-Tahrir, mayoritas Negara yang dihuni oleh umat Islam
sekarang layak disebut Dar al-Kufr, karena mengadopsi hukum-hukum yang berasal
bukan dari asas Islami dan tidak dibawah kontrol masyarakat Islam.
Ketika Negara Islam sudah terealisasi, Hizbut Tahrir mengagendakan menyusun
Undang-Undang yang diawali dengan telaah problematika masyarakat, kemudian
membuat kaidah umum—sebagai referensi Hakim/Qadli ketika memberikan putusan
hukum--yang bisa dijadikan neraca mengentaskan varian problem yang berkembang.
Mereka mensyaratkan, aturan tersebut merupakan perpanjangan dari fikih Islam.
Interpetasi Undang-Undang yang dilakukan oleh Hakim harus melalui penguasaan
teks Islam (al-Nushush al-Syar’iyyah), ushul fikih, atau fikih.
Mereka beranggapan, Islam sebagai agama mempunyai aturan. Aturan ini adalah
hukum-hukum syariat yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Aturan-aturan tersebut terklasifikasi pada hukum-hukum yang mempunyai orientasi
mengentaskan problem masyarakat (fikrah), dan hukum-hukum yang mencakup
tatacara aplikasi hukum, menjaga akidah dan menyebarkan dakwah (thariqah).
Islam tersusun dari dua unsur ini, dan tak akan mungkin berislam secara
sempurna tanpa upaya menjalankan keduanya. Mereka mencontohkan bahwa shalat
adalah fikrah. dan Negara Islam merupakan thariqah, yang bertugas tidak hanya
menganjutkan umat Islam untuk melaksanakannya secara teratur saja, akan tetapi
juga mengupayakan hukuman bagi yang meninggalkan shalat.
(Penulis : Ahmad Majdub)