Siapa yang
tidak ingin Islam kembali jaya seperti pada masa-masa keemasan Islam. Ilmu
agama tersebar ke seluruh penjuru, dipimpin oleh satu pimpinan yang adil dan
sanggup menjalankan syariat Islam secara total. Itu adalah cita-cita seluruh
umat Islam di dunia.
Kemudian, Hizbut Tahrir yang didirikan pada tahun 1953 oleh Taqiyuddin
an-Nabhani, datang dan mengusung dakwah penegakan khilafah yang dipimpin
khalifah tunggal di muka bumi. Dia menawarkan konsep yang telah ia susun
tentang khilafah dan pemerintahan Islam. Menurutnya, kelemahan Islam saat ini
lebih disebabkan oleh tidak adanya khlilafah yang memimpin seluruh umat Islam
di dunia.
Hizbut Tahrir telah menyusun konsep khilafah dengan sangat rinci. Banyak
poin-poin yang jarang menjadi pembahasan dalam konsep Ahlusunah diatur oleh
mereka, seperti struktur kepemerintahan yang terdiri atas 13 jihaz
(jabatan) dan pembatasan calon khilafah (maksimal enam orang). Mereka
melandaskan aturan-aturan itu pada fakta historis dan apa yang dilakukan oleh
Nabi SAW dan para Khulafaur-Rasyidin.
Jumlah enam itu
diambil karena calon yang ditetapkan oleh Sayidina Umar r.a hanya berjumlah
enam orang. Namun apakah hal itu menjadi suatu aturan yang harus ditetapkan?
Dan bila tidak, apakah pemerintahnya tidak dianggap sama sekali? Ataukah itu
hanya konsep ideal yang tidak menutup terjadinya realita berbeda sehingga
pemerintahnya tetap sah?
Sebenarnya memang ada perbedaan antara konsep khilafah HT dan Ahlusunah.
Perbedaan ini berawal dari perbedaan sudut pandang mengenai apakah konsep itu
merupakan harga mati ataukah sebuah konsep ideal. Untuk itu, berikut penulis
tampilkan beberapa di antaranya:
Pertama, mereka menyebutkan dalam kitab Ajhizatu Daulatil-Khilafah,
hal 60, “Kaum Muslimin di seluruh dunia wajib berada dalam satu negara dan
wajib pula hanya ada satu khalifah bagi mereka. Secara syariat, kaum Muslimin
di seluruh dunia haram memiliki lebih dari satu negara dan lebih dari seorang
khalifah.”
Menurut mereka,
khalifah di muka bumi harus satu orang, dan itu harga mati. Jika khilafah telah
ditegakkan di suatu daerah, maka seluruh umat Islam di dunia harus tunduk dan
patuh kepadanya.
Memang pendapat jumhur (mayoritas) ulama Sunni menyatakan bahwa imam
tidak boleh lebih dari satu dalam satu masa. Namun Imam al-Haramain dan Imam
al-Juwaini serta sebagian ulama Syafi’iyah dan Malikiyah memperbolehkan
dilantiknya imam lebih dari satu bila memang tidak memungkinkan.
Untuk saat ini, penegakan imam tunggal di muka bumi sangatlah sulit untuk
diwujudkan mengingat umat Islam telah terkotak-kotak di negara yang
berbeda-beda. Tentu saja perdebatan tentang penegakan khilafah sentral akan
sangat alot. Bahkan bisa jadi sebelum khilafah itu tegak, perang saudara justru
akan meledak. Di situlah Ahlusunah melihat kenyataan. Pesimis? Bukan, tapi
realistis. Melihat realita yang ada, bangunan Islam di Indonesia tetap kita
sempurnakan, bukannya merombak dan membangunnya dari awal lagi.
Kedua, dalam Nidzamul-Islam, hal 151, ad-Daulah Islamiyah,
hal 304, dan Nidzamul-Hukmi fil-Islam, hal 110, tentang hal-hal yang
melengserkan khalifah seketika itu. Di antaranya adalah “fasik yang
terang-terangan”.
Pendapat ini
jelas berbeda dengan Ahlusunah. Ulama Ahlusunah menetapkan bahwa seorang
khalifah tidak dapat dilengserkan sebab ia fasik. Imam Nawawi menjelaskan,
“Ahlusunah menyepakati bahwa seorang sultan tidak dilengserkan karena perbuatan
fasik yang dilakukan olehnya.” Pendapat ini juga searah dengan Hadis Nabi SAW,
“(Kita diperintahkan juga agar) Tidak memberontak terhadap para penguasa
kecuali jika kalian melihatnya melakukan kekufuran yang jelas.” (HR.
al-Bukhari dan Muslim). Dan Hadis, “Barang siapa yang membenci dari amirnya
hendaknya ia bersabar atasnya, karena tidak seorangpun membangkang terhadap
seorang sultan kemudaian mati dalam keadaan seperti itu maka ia mati jahiliyah.”
(HR. Muslim). Dampaknya, jika khalifah itu tak lagi dianggap otomatis, dia
sudah tidak lagi wajib ditaati dan wajib mengangkat khalifah baru lagi.
Ketiga, tentang darul-islam. Mereka menyebutkan dalam Hizbut-Tahrir,
hal 5, “Umat Islam sejak runtuhnya khilafah, mereka hidup tanpa daerah Islam
dan tanpa hukum Islam.” Juga pada halalaman 29 dalam Manhaj Hizbit-Tahrir,
hal 5 dan 8, “Dan di negeri-negeri kaum Muslimin sekarang tidak satu negeri
atau pemerintahan yang mempratikkan hukum-hukum Islam dalam hal hukum dan
urusan kehidupan, karena itulah semuanya terhitung darul-kufri meskipun
penduduknya adalah Muslimin.”
Menurut Imam ar-Rafi’i dan beberapa ulama lain dengan mengutip pendapat
kalangan Syafi’iyah, darul-islam ada tiga macam. Pertama, tempat
bermukin para Muslimin. Kedua, daerah yang ditaklukan oleh umat Islam. Ketiga,
tempat yang ditinggali umat Islam tapi kemudian dikuasai oleh orang-orang
kafir.
Memang
mayoritas ulama Sunni menyatakan bahwa daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh
kaum Muslimin tapi kemudian dikuasai orang-orang kafir, daerah itu tetap
disebut darul-islam.
Keempat, kewajiban berbaiat. Mereka menyebutkan, “Baiat adalah kewajiban
umat Islam.” (Nidzamul-Hukmi fil-Islam, hal 65). Mereka mengambil dasar
dari sebuah Hadis Ibnu Umar r.a, “Dan, barang siapa yang mati tanpa baiat di
lehernya, maka dia mati jahiliah.” (HR. Muslim). Pada halaman 67, mereka juga
menjelaskan, “Baiat itu dengan berjabat tangan atau dengan penulisan.”
Hadis di atas sebenarnya terpotong. Ada kutipan sebelumnya yang berbunyi, “Barang
siapa yang melapas tangan dari ketaatan, maka dia akan bertemu Allah di hari
kiamat tanpa ada hujjah baginya.” Maka, kutipan Hadis di atas sebenarnya
diarahkan kepada mereka yang keluar dari ketaatan terhadap seorang imam. Itu
artinya, mati jahiliyah yang dimaksud bukan diarahkan kepada orang yang tidak
berbaiat kepada seorangan khalifah, melainkan kepada orang yang keluar dari
ketaatan dan memisahkan diri dari jamaah.
Hal ini diperkuat dengan Hadis Ibnu Abbas r.a, “Barang siapa yang membenci
sesuatu dari pemimpinnya maka hendaknya dia bersabar, karena siapapun yang
keluar sejengkal dari (ketaatan terhadap) pemimpinnya dan mati dalam keadaan
itu maka dia mati jahiliyah.” (HR. al-Bukhari). Kata ‘fatama ‘alaihi’
(kemudian mati dalam keadaan itu [keluar dari ketaatan]) dalam Hadis tersebut
menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah orang yang membangkan terhadap imam. Dan
juga Hadis Abi Hurairah r.a, “Barang siapa yang keluar dari ketaatan dan
memisah dari jamaah kemudian mati, maka dia mati jahiliyah.” (HR. Muslim).
Walhasil, konsep khilafah Hizbit Tahrir memang lebih kaku dari konsep
Ahlusunah. Ahlusunah memiliki konsep ideal tapi juga bisa menjadi longgar.
Dengan khilafiyah furu’iyah yang beragam, dapat menjadi solusi jika
memang relita yang ada tidak memungkinkan.
Terlepas dari itu semua, coba Anda bayangkan jika konsep khilafah ditegakkan
namun dengan akidah mereka, maka bisa jadi setelah khilafah tegak, mereka akan
menemukan umat yang tak sepaham dengan mereka. Ingat! Taqiyuddin an-Nabhani
dengan tegas menyatakan bahwa Ahlusunah hakikatnya adalah Jabariyah (As-Syakhshiyah
al-Islamiyah, juz I, hal, 53-54). Hal itu bukan berarti kita tidak berusaha
untuk merealisasikan penerapan ajaran Islam secara sempurna. Namun, yang jelas
kita berusaha untuk syariat Islam ala Ahlusunah.dengan akidah Ahlusunah dan
tentu saja cara yang sesuai dengan Ahlusunah. Wallahu a’lam.