Awalnya gerakan
yang selalu menggembar-gemborkan isu khilafah ini hanya mentargetkan 13 tahun
untuk merealisasikan konsep politiknya. Namun, semenjak dirintis, tepatnya pada
1953, belum satu negarapun di dunia yang mengibarkan bendera khilafah mereka.
Waktu pun diperhitungkan kembali. Kali ini mereka menaruh limit hingga tiga
dasarwarsa. Apa boleh buat, perhitungan tinggallah perhitungan. Hingga saat
ini, tepatnya ulang tahun Hizbut Tahrir yang ke-56, masih belum ada kabar baik,
kapan khilafah mereka diresmikan. Justru, keberadaan Hizbut Tahrir selalu
dauber-uber oleh pemerintah setempat.
Tanggal 12 Agustus 2007, Hizbut Tahrir baru manginjak tahap kedua dari tiga
tahap proses perubahan yang mereka konsepkan, yakni tahap berinteraksi dengan
umat (marhalah tafa’ul ma’al-ummah) yang selanjutnya akan disusul dengan
tahap penerimaan kekuasaan (istislamul-hukmi). Mereka manandai
keberhasilan tersebut dengan menyelenggarakan konferensi Khilafah Internasional
di Gelora Bung Karno Jakarta.
Satu hal yang mungkin dianggap lucu dari sepak terjang pergerakan ini, di mana
gerakan yang selalu mengkafirkan, menghina, bahkan membenci sepenuh hati
terhadap konsep demokrasi, justru bisa mengibarkan benderanya di negeri yang
menjunjung tinggi asas demokrasi. Coba lihat, di mana Hizbut Tahrir berani dan
dapat menyelenggarakan acara sebesar itu di negara Islam lain? Seharusnya
mereka banyak bersyukur kepada demokrasi Indonesia. Mereka tumbuh subur dari
demokrasi yang mereka benci. Tapi sayang mereka justru memilih tumbuh menjadi
benalu.
Entah, bodohnya Indonesia atau memang ia dibodohi HTI. Bagaimana bisa, bentuk
Negara kesatuan yang telah diberi harga mati mengizinkan organisasi politik
lain untuk dapat mengibarkan bendera pendudukan di negaranya. Apakah ia tidak
membaca sejarah kelam pergerakan tersebut? Apakah ia tidak pula memperhatikan
konsep ideologi teologis dan politisnya? Nestapa, bila kita tidak menganal
siapa mereka.
Untuk itu, tidak ada salah kiranya bila kami turut menasihati agar segenap
sepak terjang pergerakan ini terus dipantau dan diwaspadai. Perlu
diwaspadai karena Hizbut Tahrir ditengarai mengusung ide-ide dan wacana
menyimpang yang meresahkan umat Islam. Dari berbagai ide dan wacana tersebut,
setidaknya terdapat tiga klasifikasi pembahasan yang perlu diperhatikan:
Pertama, akidah. Bila berbicara tentang akidah Hizbut Tahrir,
maka akan dihadapkan pada berbagai penyimpangan yang kompleks, utamanya yang
berkenaan dengan masalah qadha’ dan qadar. Pandangan Hizbut
Tahrir mengenai qadha’ dan qadar sama persis dengan aliran sesat
Muktazilah. Lebih dari itu, mereka meragukan kepercayaan terhadap qadha’
dan qadar sebagai bagian dari rukun iman.
Aliran ini juga menyatakan dengan tegas bahwa meraih petunjuk dan terjerumus
dalam kesesatan adalah murni hasil dari tindakan manusia. Tidak ada intervensi
Tuhan sedikitpun. Petunjuk dan kesesatan, menurut mereka, adalah pilihan hidup
yang ada pada area yang dikuasai oleh setiap pribadi. Karenanya, mereka dapat
menentukan sendiri jalan kehidupan di antara keduanya. Dan, dari sanalah
nantinya Tuhan akan memberi balasan bagi setiap tindakan.
Di samping itu, mereka juga banyak meragukan akidah-akidah yang telah banyak
diyakini oleh mayoritas umat Islam, utamanya terhadap hal-hal yang berbau
mistik dan gaib, seperti keyakinan akan siksa kubur, keyakinan adanya
pertanyaan Malaikat Munkar-Nakir, keyakinan akan turunnya Isa di akhir zaman,
keyakinan akan fitnah Dajjal, keyakinan atas syafaat Nabi SAW di padang
Mahsyar, dan lain sebagainya.
Bagi mereka,
segenap bentuk kepercayaan di atas tidak wajib diyakini karena berangkat
melalui riwayat ahad. Namun, mereka tidak pernah mau mengkaji ke-mutawatir-an
Hadis-Hadis tersebut secara ma’nawi. Sehingga, penyimpangan-penyimpangan
tadi hampir manjadi ciri khas akidah para syabab Hizbut Tahrir.
Kedua, syari’ah. Meskipun bergerak di bidang politik, Hizbut
Tahrir juga banyak mengeluarkan fatwa-fatwa yang ditengarai provokatif.
Berbagai fatwa tersebut dapat disimak melalui edaran-edaran yang mereka
sebarkan, seperti al-Khilafah, al-Islam, dan al-Wai’e atau
fatwa-fatwa yang telah ditulis oleh pendiri gerakan ini, an-Nabhani, melalui
berbagi karyanya.
Dalam al-Khilafah edisi Rabiul Awal Tahun 1416, Hizbut Tahrir sempat
mengharamkan tawasul, baik itu tawasul melalui para nabi atau orang-orang
saleh. Bukan hanya itu, peringatan Maulid Nabi SAW turut diharamkannya, persis
seperti mainstream gerkan Wahabi.
Di antaranya lagi, mereka menghalalkan berciuman dengan lain jenis meskipun
dengan syahwat dan tanpa satir (penghalang). Fatwa ini memang terbilang
nyeleneh dan menantang. Namun, para syabab Hizbut Tahrir mengakui akan
keberadaan fatwa tersebut, kecuali syabab Hizbut Tahrir Indonesia yang
enggan dan menganggap fatwa tersebut tidak mewakili.
Dalam edaran 08 Muharram 1390 H, mulanya mereka hanya menghalalkan berciuman
dan bersalaman antara laki-laki dan perempuan (bukan mahram) yang baru tiba
dari perjalanan. Itupun masih dibatasi dengan tanpa disertai syahwat. Setelah
itu, pada edaran berikutnya, tepatnya tertanggal 24 Rabiul Awal 1390 H, mereka
menfatwakan bolehnya bersalaman dan berciuman secara mutlak. Dalam fatwa
tersebut turut ditampilan berbagai alasan logis sebagai landasan atas ijtihad
ngawur-nya.
Meskipun fatwa halalnya berciuman tidak pernah dilontarkan oleh an-Nabhani,
setidaknya ia merupakan biang dari penyimpangan yang ada. Manhaj
istinbatul-ahkam (metodologi penggalian hukum) an-Nabhani telah mengobsesi
para syabab Hizbut Tahrir untuk melakukan ijtihad sendiri. Lebih-lebih
an-Nabhani secara pribadi telah mengaku sebagai mujtahid dan banyak
menganjurkan segenap pengikutnya untuk berani berijtihad.
Dalam Nidzamul-Ijtima’i Fil-Islam, an-Nabhani telah berijtihad akan
bolehnya bersalaman antara laki-laki dan perempuan. Pendapat tersebut lebih
diperkokoh melalui kitab asy-Syakhshiyah al-Islamiyah-nya dengan
menampilkan penjang lebar sistematika penggalian hukum yang ia tempuh.
An-Nabhani juga menyebut pendapat yang mengharamkan jabat tangan jauh dari maentream
syariah.
Di sela-sela pemaparannya itu, an-Nabhani menambahkan bahwa tangan bukanlah
termasuk aurat bagi wanita. Wacana ini berangkat dari pemahaman an-Nabhani
terhadap ayat “aulamastumun-nisa’” yang menurutnya hanya mengindikasikan
hukum batalnya wudu bukan hukum haramnya bersentuhan.
Meskipun bersalaman termasuk masalah furu’iyah dan masih dalam linkaran
mazhab empat, namun metodologi yang digunakan oleh ulama mazhab tidak sama
dengan proses penggalian hukum yang telah ditempuh an-Nabhani. Sehingga, ketika
konsep mereka dikembangkan tidak sampai melahirkan hukum-hukum yang ngawur
seperti yang telah terjadi pada mazhab Hizbut Tahrir. Perbedaan manhaj
inilah yang selanjutnya melahirkan berbagai penyimpangan hukum syariah di tubuh
organisasi ini.
Ketiga, siyasah. Politik merupakan perhatian utama bagi gerakan
Hizbut Tahirir. Misi utama dari politiknya adalah dapat merebut kekuasaan dari
pimpinan yang sah dengan bertamengkan isu khilafah. Kelompok ini, nyaris
mengakfirkan segenap sistem politik yang ada saat ini. Sehingga, politik Hizbut
Tahrir lebih tampak berposisi sebagai oposisi radikal. Mereka mengharuskan
konsep perpolitikannya (al-Khilafah ‘ala Manhaji Hizbit-Tahrir)
direlisasikan dengan atas nama Islam. Padahal politik dan sistem pemerintahan
dalam Islam merupakan bagian dari permasalahan furu’iyyah yang cederung
fleksibel dan ramah.
Radikelisme Hizbut Tahrir juga terbukti dari berbagai sepak terjang pendiri
gerakan tersebut dalam menghadapi berbagai sistem pemerintahan Islam selama
ini. An-Nabhani mengajarkan kepada para aktivis Hizbut Tahrir bahwa cara dakwah
yang harus mereka tempuh adalah dengan membuat opini buruk tentang pemerintah
dan disebarluaskan ke segenap masyarakat.
An-Nabhani berkata, “…semestinya aktivitas Hizbut Tahrir yang paling menonjol
adalah aktivitas menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara
penguasa dengan umat dalam semua aspek, baik menyangkut cara penguasa tersebut
mengurus kemaslahatan, seperti pembangunan jembatan, pendirian rumah sakit,
atau cara melaksanakan aktivitas yang menyebakan penguasa tersebut mampu
melaksanakan (urusan umat) seperti pembentukan kementrian dan pemilihian wakil
rakyat. Yang dimaksud pengauasa di sini adalah pemerintah.”
Kemudian an-Nabhani melanjutkan, “Oleh karena itu, kelompok berkuasa tadi
seluruhnya harus diserang, baik menyangkut tindakan maupun pemikiran
politiknya.”
Setelah kita menyimak beberapa ide dan wacana yang mereka usung, meskipun tidak
kami sebutkan semua karena ketebatasan tempat, setidaknya cukup untuk memberikan
alasan kenapa gerakan ini perlu diwaspadai. Selanjutnya pembaca yang lebih
paham mengenai tindakan apa yang harus ditempuh.
(Penulis: Ahmad Majdub)