Kelas
satu dan dua kita lalui begitu cepat. Hingga aku hampir lupa seragam warna apa yang sering
kita pakai senin itu, aku lupa kerudung warna apa yang dulu membalut kepala
kita, atau celana biru yang bagaimana yang sering kita pakai hingga aku lupa
kapan terakhir kali aku mencucinya. aku lupa bagaimana kali pertama kita bersua
untuk saling setia menghotmati guru-guru kita. Aku
tak paham dengan paragraf macam apa harus kumulai suatu baris untuk menyusun
ulang kenangan tentang kita yang kini hampir sirna, Aku tak tahu bila saat itu
tiba, apa kita akan sempat menafsirkan tiap jejak yang kita tinggalkan di
setiap jengkal tanah Annahdliyah, tanah yang pernah menyimak tiap jengkal
langkah kita. Yang di sana kita Banyak menerima
pujian dan sindiran, hingga kita tak perlu banyak kata untuk
mengungkap cerita sebagai bukti, sebab tatapan air mata kita adalah pernyataan
paling jujur dari hati sanubari. Dipandu waktu, Hingga pada akhirnya kita masuk ke kelas tiga. kita
mencoba menyusun kembali kata-kata yang dulu tak sempat terurai, Mungkin, tak
sempat juga kita ungkap, Disini, di sebuah pesantren yang begitu santun
mengajari kita tentang bagaimana cara bersopan santun yang baik. Bila
suatu saat kau lintasi pondok tercintamu ini, ingatlah bahwa dulu disini kita
pernah bersama dalam duka maupun lara. atau bila kau sempat bertandang kesini,
di tempat dimana kita pernah saling menyerahkan tatapan lara. Lihatlah dan baca
bahwa dipohon palem itu terpasung kenangan kita. Hari ini, akan menjadi
saksi bisu betapa detak jantung kita kelak akan mewiridkan rasa Rindu. Rindu
daun bambu tempat kita bernaung menyisipkan pilu, betapa setiap huruf dari
perbincangan kita adalah kelahiran Masa lalu. kuharap kita kelak masih
tetap ingat bahwa ditempat itu, sebuah tepian jalan sungai bernama jembatan
loka. ada kisah yang belum kita rampungkan, kisah yang kelak akan kita wariskan
kepada anak-cucu. sebab kita adalah tata buku masa lalu, sebersit sejarah yang
nanti patut di baca oleh anak cucu.
Di
penghujung kelas tiga, kita melaluinya dengan canda dan tawa. Tanpa kita
menciptakan duka di tengah-tengahnya. Sampai-sampai guru-guru menaruh harapan
yang besar kepada kita. Kita baru menyadari, bahwa kita adalah murid-murid yang
sangat dibangga-banggakan oleh mereka. Sekarang, kelak ataupun nanti. Walau
terkadang kita lebih sering membuat mereka kecewa. Tapi, mereka tak sama sekali
mengurangi rasa kasih sayang mereka kepada kita. Hingga terkadang, kita terlena
oleh kasih sayang dan pujian mereka. Kini kita baru sadar bahwa rasa
kesombongan itu hadir menjelma menjadi sebuah kecongkakan yang tak mungkin
termaafkan. Ah… lagi-lagi kita membuat kesalahan. Harus dengan apalagi kita
menebus semua kesalahan itu, itu dan itu. Tanpa sedikitpun kita mau merubah
itu.
Untuk
abah dan ibu nyai. maafkan kami. Sampai kini, dari pertama kami menginjakkan
tanah bumi Annahdliyah tercinta ini. kami masih tenggelam dalam keangkuhan batu
karang. kami lebih sibuk bercanda dan tertawa dari pada mencerna beribu-ribu
makna. Abah… ibu…. Semenjak itu kami
sudah tak tahan menanggung kecemasan ini, yang meleleh sebagai airmata.
kami masih ingat jelas saat kau menuangkan ilmu kepada kami, yang kini selalu
mengiang. Bahwa engkau tak pernah mengharapkan balasan untuk apa yang telah kau
berikan.
By; Sabila Rahmatika (Alumni)
By; Sabila Rahmatika (Alumni)